Faktual News melaporkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merah pada perdagangan sesi I, Selasa (29/8), anjlok 2,27 persen ke level 7.771,28. Pelemahan ini jauh lebih dalam dari penutupan sebelumnya di angka 7.952,08. Menurut Hendra Wardana, Founder Stocknow.id, tekanan jual ini bukan semata-mata karena faktor global, melainkan lebih didorong sentimen domestik.
"Aksi massa di Jakarta dan beberapa daerah menciptakan ketidakpastian politik yang signifikan," jelas Hendra. Pasar modal, yang dikenal sangat sensitif terhadap stabilitas, merespon dengan penjualan besar-besaran. Investor, baik domestik maupun asing, cenderung mengamankan posisi likuiditas mereka, memicu aksi jual yang masif.

Data RTI Business mencatat volume perdagangan mencapai 33,99 miliar saham, dengan frekuensi transaksi 1,62 juta kali dan nilai transaksi Rp13,31 triliun. Dari 662 saham yang terkoreksi, hanya 89 saham yang menguat, sementara 49 saham lainnya stagnan. Hampir semua sektor mengalami penurunan, dengan sektor siklikal paling terdampak (-4,69 persen), disusul infrastruktur (-3,50 persen), bahan baku (-3,47 persen), properti (-3,41 persen), dan energi (-2,77 persen). Sektor keuangan, teknologi, transportasi, kesehatan, dan non-siklikal juga mengalami penurunan signifikan. Hanya sektor industri yang sedikit naik (0,13 persen), didorong oleh kenaikan saham PT Impack Pratama Industri Tbk (IMPC) sebesar 9,63 persen.
Berbeda dengan IHSG, sebagian besar indeks bursa Asia justru menguat. Shanghai Composite Index naik 0,20 persen, dan Hang Seng Index menguat 0,47 persen. Hanya Nikkei 225 Index Tokyo yang mengalami penurunan (-0,35 persen). Peristiwa ini menunjukkan bahwa sentimen negatif yang melanda IHSG lebih spesifik berasal dari kondisi domestik, khususnya dampak demonstrasi terhadap kepercayaan investor.

